Pengertian Resiko
Liquiditas
Secara umum,
definisi likuiditas adalah kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dana (cash flow)
dengan segera dan dengan biaya yang sesuai. Risiko likuiditas
adalah risiko yang muncul jika suatu pihak tidak
dapat membayar kewajibannya yang jatuh tempo secara tunai. Meskipun pihak
tersebut memiliki aset yang cukup bernilai untuk melunasi kewajibannya, tapi
ketika aset tersebut tidak bisa dikonversikan segera menjadi uang tunai, maka
pihak tersebut dikatakan tidak likuid.
Hal ini bisa terjadi jika pihak
pengutang tidak dapat menjual hartanya karena tidak adanya pihak lain di pasar
yang berminat membelinya. Hal ini berbeda dengan penurunan drastis harga aktiva, karena pada kasus penurunan harga, pasar
berpendapat bahwa aktiva tersebut tak bernilai. Tidak adanya pihak yang
berminat menukar (membeli) aktiva kemungkinan hanya disebabkan karena kesulitan
mempertemukan kedua belah pihak. Karenanya, risiko likuiditas biasanya lebih
besar kemungkinan terjadi pada pasar yang baru tumbuh atau bervolume kecil.
Risiko likuiditas merupakan suatu risiko keuangan karena adanya
ketidakpastian likuiditas. Suatu lembaga dapat berkurang likuiditasnya jika peringkat kreditnya turun, mengalami
pengeluaran kas yang tak terduga, atau peristiwa lain yang menyebabkan pihak
lain menghindari transaksi atau memberikan pinjaman ke lembaga tersebut. Suatu
perusahaan juga dapat terpapar terhadap risiko likuiditas jika pasar yang
diikutinya mengalami penurunan likuiditas.
lembaga keuangan Bank.
Risiko Likuiditas dalam lembaga keuangan Bank adalah
risiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo
dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas tinggi
yang dapat diagunkan, tanpa menganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Likuiditas sangat penting untuk menjaga kelangsungan usaha bank. Oleh karena
itu, bank harus memiliki manajemen risiko likuiditas bank yang baik. Dalam mengantisipasi terjadinya Risiko Likuditas,
aktivitas Manajemen Risiko yang umumnya ditetapkan oleh Bank antara lain
adalah:
1.
Melaksanakan monitoring secara harian atas besarnya
penarikan dana yang dilakukan oleh nasabah baik berupa penarikan melalui
kliring maupun penarikan tunai.
2.
Melaksanakan monitoring secara harian atas semua dana
masuk baik melalui incoming transfer maupun setoran tunai nasabah.
3.
Membuat analisa sensitivitas likuiditas Bank terhadap
skenario penarikan dana berdasarkan pengalaman masa lalu atas penarikan dana
bersih terbesar yang pernah terjadi dan membandingkannya dengan penarikan dana
bersih ratarata saat ini. Dari analisa tersebut dapat diketahui tingkat
ketahanan likuiditas Bank.
4.
Selanjutnya Bank menetapkan secondaryreserve untuk
menjaga posisi likuiditas Bank, antara lain menempatkan kelebihan dana ke dalam
instrumen keuangan yang likuid.
5.
Menetapkan kebijakan Cash Holding Limit pada
kantor-kantor cabang Bank. Melaksanakan fungsi ALCO (Asset &Liability
Committee) untuk mengatur tingkat bunga dalam usahanya.
6.
meningkatkan/menurunkan sumber dana tertentu.
7.
Strategi Manajemen Cadangan dan Kebijakannya
Dalam melakukan
peniaian risiko likuiditas, ada baiknya untuk melakukan memahami sumber-sumber
kejadian risiko likudiitas. Sumber resiko likuiditas bank terdiri
dari :
a. Sumber
liquiditas langsung, meliputi:
o
Liquiditas Asset
Kekosongan
deposito dapat menyebabkan problema likuiditas bank, hingga penggu-naan oleh
para peminjam komitmen pinjaman & lini kredit lainnya. Cara mengatasi Liquiditas asset dapat melalui cara sebagai berikut:
1. Manajemen likuiditas yang dibeli (meminjam di pasar
uang & meminjamkan dana ini kepada peminjam),
2. Manajemen likuiditas yang disim-pan (menurunkan aset
kas milik bank).
o
Liquiditas Liabilities
Dalam
kondisi tertentu, terkadang bank menga-lami kekosongan deposito bersih, yaitu:
jumlah dengan mana penarikan kas melebihi dari tambahannya; suatu arus kas
keluar bersih. Yang dikarenakan Kebanyakan rekening giro secara normal bertindak
sebagai deposito inti, yaitu,
deposito yang menyediakan
sumber pendanaan jangka panjang untuk suatu bank.
Rekening
giro & rekening transaksi lainnyadapat dijadikan kontrak yang memberikan para pemegangnya hak untuk
menjual klaim kembali kepada bank pada beberapa hari tertentu & meminta
pemba-yaran kembali segera pada nilai muka atas klaim depositonya dalam kas.
Dalam teori, paling sedikit,
suatu bank mempu-nyai 20% kewajiban2 dalam rekening giro & rekening
transaksi lain harus siap untuk memba-yar jumlah itu dengan melikuidasi
aset2-nya pada hari perbankan.
o
Liquiditas OFF B/S, dengan mengestimasi
Penarikan fasilitas kredit.
b. Resiko
Lainnya
o
Resiko Kredit, Antara lain dengan
peningkatan NPL yang akan mempengaruhi cashflow suatu lembaga keuangan tersebut
o
Resiko Pasar, Antara lain dengan
peningkatan tingkat suku bunga yang dapat meningkatkan atau menurunkan tingkat
suku bunga.
o
Resiko Operasional, antara lain adalah
kegagalan dalam sistem Force majeure hal ini juga dapat mempengaruhi Cashflow
suatu lembaga keuangan tersebut.
Identifikasi
sumber risiko likuiditas bertujuan untuk mengetahui jumlah dan trend kebutuhan
likuiditas serta sumber pendanaannya. Sesuai diagram di atas, risiko likuiditas
dapat bersumber dari dari dua hal yaitu langsung dan tidak langsung. Sumber
likuiditas langsung dapat bersumber dari al. volatilitas surat berharga dan
konsentrasi sumber dana yang tinggi pada sisi liabilities. Selain sumber risiko
likuiditas langsung, terdapat pula risiko lain yaitu risiko kredit, risiko
pasar, dan risiko reputasi yang dapat menimbulkan risiko likuiditas
(Risiko Likuiditas sebagai 2nd order risk).
Mengukur
Eksposur Likuiditas Bank
Dalam
Mengukur Eksposur Liquiditas bank dapat dilakukan dengan melihat:
1. Sumber & penggunaan likuiditas: dengan alat laporan likuiditas bersih yang mencatat sumber &
penggunaan likuiditas, yang menyediakan ukuran posisi likuiditas bersih. Ada tiga cara yang dapat ditempuh oleh bank untuk mendapatkan dana likuid:
a. Menjual asset asset bertipe
kasnya
b. Meminjam dana di pasar uang
c. Menggunakan kelebihan cadangan kas
2. Perbandingan rasio kelompok sebanding : Dengan membandingkan rasio- rasio kunci
tertentu & sifat neraca. Rasio pinjaman dari deposito & dana yang dipinjam terhadap aset total
berarti bahwa bank mengandalkan secara berat pada pasar uang jangka pendek
daripada deposito inti untuk pinjaman-pinjaman dana.
3. Indeks likuiditas: Dikembangkan oleh Jim Pierce pada Fed, yang mengukur kerugian potensial
suatu FI dapat menderita dari mendadak atau suatu penyelesaian menjual-api atas
aset dibandingkan dengan jumlah yang akan diterima pada pasar wajar di bawah
kondisi pasar normal.
I = S[(wi)(Pi/Pi*)].
Dimana:
wi = persentase
dari masing2 aset
Pi = harga aset2
penjualan api dengan segera
Pi* = harga pasar
wajar atas aset.
4.
Kesenjangan pembelanjaan & kebutuh-an pembelanjaan: ada tiga rumus:
•
Kesenjangan pembelanjaan = Pinjaman
rata-rata – Deposito rata-rata.
•
Kesenjangan pembelanjaan = - Aset2
likuiditas + Dana yang dipinjam.
•
Kesenjangan pembelanjaan + Aset2 likuid = Kebutuhan pembelanjaan (Dana yang dipinjam).
5.
Perencanaan likuiditas: suatu
komponen kunci dalam mengukur risiko likuiditas & biaya2 yang berhubungan. Ada empat komponen perencanaan likuiditas.
a.
Gambaran
atas pendalaman & tanggung jawab manajerial.
b.
Daftar mendalam atas para penyedia dana kebanyakan menyukai untuk menarik
seperti pola atas penarikan dana.
c.
Identifikasi
ukuran deposito potensial & penarikan dana pada horizon waktu yang
bervariasi di masa mendatang seperti sumber pendanaan pasar swasta alternatif
untuk memenuhi runoff.
d.
Perencanaan
tersebut membentuk batas2 internal atas pemisahan peminjaman perusahaan anak atau
cabang seperti batas untuk premi risiko yang dapat diterima untuk membayar
masing2 pasar.
Problema likuiditas utama
dapat muncul, jika kekosongan deposito secara abnormal besar & tidak
diharapkan. Guncangan
penarikan deposito dapat terjadi karena beberapa alasan:
1.
Perhatian
tentang solvensi bank relatif terhadap bank lain.
2.
Kegagalan
atas bank yang berhubungan, mengarahkan pada perhatian deposan yang tinggi
tentang solvensi bank lain (efek penularan).
3.
Gelombang
yang tidak diharapkan mendadak dalam risiko penarikan deposito bersih memicu bank
run biasanya dapat memperkuat suatu bank dalam solvensi.
Untuk mengatasi masalah ini, biasanya pemerintah
melakukan penjaminan terhadap dana yang disimpan oleh para penabung, karena
penjaminan tersebut akan menyebabkan para penabung merasa aman dan mempercayai
sistem perbankan. Pemerintah juga dapat bertindak sebagai the lender of
the last resort, dengan memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang
mengalami masalah likuiditas.
Pada saat industri perbankan tidak memiliki pertahanan
yang kuat dalam menjalankan usahanya, maka risiko–risiko tersebut dapat
menyerang sektor perbankan. Jika hal ini semakin memperburuk kondisi perbankan,
maka kepercayaan masyarakat terhadap kinerja perbankan akan semakin menurun.
Masyarakat (nasabah) yang menyimpan uang di bank mulai tidak yakin akan
kemampuan bank dalam memenuhi kewajibannya secara penuh, sehingga semakin
banyak nasabah yang menarik uangnya dari bank. Krisis kepercayaan yang diikuti
oleh penarikan dana secara besar–besaran dari bank oleh nasabah ini disebut
sebagai bank runs. Berikut beberapa penyebab dan dampak
terjadinya bank runs (Bank Indonesia, 2002: 34–46):
Ø Penyebab bank
run
1.
Moral hazard dan penurunan aset
Dalam teori ini diasumsikan bahwa banyak bank yang
memperoleh fasilitas berupa kemudahan mendapatkan pinjaman dengan tingkat bunga
yang aman dari pemerintah, sehingga terjadi persaingan dalam menyalurkan
kredit. Hal ini mengakibatkan kinerja dari bank seolah–olah sangat sehat
dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya. Penurunan nilai aset terjadi jika
pemerintah tidak lagi memberikan jaminan pada pinjaman bank, sehingga mengubah
ekspektasi investor karena mereka merasa dananya tidak aman lagi. Bank
runs terjadi pada saat ketidakpercayaan investor atau nasabah
diwujudkan dengan menarik dana mereka dalam jumlah besar.
2.
Disintermediasi dan likuidasi
Diasumsikan bahwa pihak bank adalah pihak yang baik,
sehingga penyebab utama terjadinya krisis dan asset deflation adalah financial
panic(bank runs) yang tidak diikuti oleh kebijakan yang tepat. Pihak
bank melakukan investasi utamanya untuk jangka panjang, sehingga membutuhkan
pembiayaan dana yang bersifat jangka panjang. Keadaan ini menyebabkan bank mudah
terserang panik finansial.
Ø Dampak bank
runs
1.
No contagion effect
Berdasarkan teori no contagion effect, bank
runs tidak akan merubah volume deposito dalam pengertian bahwa nasabah
yang tidak percaya kepada suatu bank memindahkan dananya kepada bank lain,
sehingga total simpanan dalam sistem perbankan akan tetap jumlahnya.
Sebaliknya, koalisi antar bank (dimana bank yang mengalamiexcess liquidity mengalirkan
dananya kepada bank yang kekurangan likuiditas) akan mengurangi efekbank
runs lebih lanjut.
2.
Contagion effect
Ketidakpercayaan pada suatu bank juga akan membawa
ketidakpercayaan kepada sistem perbankan secara keseluruhan, sehingga akan
menimbulkan panics. Contagion effect dari bank
runs suatu bank terjadi jika nasabah menarik dananya dari bank yang
gagal dan yang masih baik dalam waktu yang sama tanpa adanya proses pemindahan
deposito. Contagion effect dapat ditentukan dengan
membandingkan uang kartal terhadap simpanan dana pihak ketiga (DPK) dalam
sistem perbankan (rasio C/D).
Bank run yang berlanjutan dapat memunculkan panik
bank, yaitu run sistematik & menular atas deposito industri
perbankan sebagai keseluruhan. Ada dua elemen penyekatan/isolasi risiko likuiditas utama dalam bank run yaitu Asuransi deposito dan pintu diskon. Asuransi deposito dilakukan dengan cara regulator pemerintah atas lembaga2
depositori mengembangkan program penjaminan yang ditawarkan bagi para pemegang
deposito dengan tingkat perlindungan asuransi yang bervariasi untuk menghalangi
run.
Sedangkan Fasilitas
pintu diskon diberikan oleh bank sentral untuk memenuhi kebutuhan likuiditas
nonpermanen jangka pendek bank. Bank sentral memberikan pinjaman pintu diskon, bagaimanapun, pada
kebijaksanaannya, tidak mengharuskan untuk membantu bank2 yang kesulitan.
Risiko Liquiditas dari Perusahaan
Asuransi Jiwa
Perusahaan asuransi jiwa
memegang cadangan kas untuk memenuhi pembatalan & kebutuhan modal kerja
lain. Ketika
pendapatan premi tidak mencukupi, asuransi jiwa dapat menjual beberapa aset
likuid relatifnya, seperti obligasi pemerintah. Solvensi pada perusahaan asuransi dapat menghasilkan run dalam mana
pendapatan premi baru berkurang & para pemegang polis membatalkan polisnya
dengan menguangkannya dalam nilai penyerahannya. Nilai penyerahan
ini adalah jumlah yang diterima pemegang polis asuransi ketika
menguangkan suatu polis lebih awal. Untuk memenuhi permintaan yang luar biasa atas kas, perusahaan asuransi
dapat menjual aset2 yang kurang likuid dalam portofolionya, seperti pinjaman
hipotek komersial & sekuritas2 lain, pada harga penjualan-api secara
potensial.
Asset-asset perusahaan
asuransi kerugian aset cenderung lebih berjangka pendek & lebih likuid
daripada asuransi jiwa. Eksposur likuiditas terbesar asuransi kerugian terjadi ketika para pemegang
polis asuransi membatalkan atau gagal untuk memperbaharui polis karena risiko
insolvensi, penentuan harga, atau alasan persaingan. Hal ini
dapat menyebabkan arus masuk kas preminya, ketika tambahan untuk pengembalian
investasinya, tidak mencukupi untuk memenuhi klaim polis. Klaim2 yang tidak diharapkan besar dapat juga material & melebihi arus
pendapatan premi & pengembalian pendapatan dari aset, dapat juga menjadi
penyebab eksposur likuiditas.
Reksadana
Ada beberapa Jenis dari reksadana yaitu :
1.
Reksadana
tertutup: reksadana yang menjual jumlah lembar saham yang tetap kepada para
investor luar.
2.
Reksadana terbuka: reksadana
yang menjual jumlah lembar saham elastis atau tidak tetap kepada para investor
luar.
Reksadana dapat menjadi subyek
terhadap runs likuiditas yang dramatis jika para investor men-jadi takut
tentang NAV atas asset - aset reksadana. Jika
reksadana dilikuiditasi, aset2-nya akan didistribusikan kepada para pemegang
reksadana atas basis pro rata daripada dasar datang-pertama, layani-pertama,
seperti deposito & kontrak polis asuransi. Para pemegang reksadana merealisasi NAV (pro rata) & tahu bahwa para
investor membagi kerugian aset pada basis pro rata; ada pada lini pertama untuk
menarik tidak mempunyai keuntungan, seperti pada bank.
Berikut ini adalah
contoh peristiwa yang berkaitan dengan risiko likuiditas :
1. Krisis
yang melanda Indonesia, mulai mengenai perbankan dengan timbulnya masalah
kekurangan likuiditas (liquidity mismatch), semula dialami oleh
beberapa bank, tetapi kemudian menjadi sistemik. Krisis likuiditas secara
sistemik, yang dialami perbankan dimulai sekitar pelaksanaan kebijakan
pencabutan ijin usaha atau likuidasi 16 bank tanggal 1 November 1997.
Kepercayaan terhadap Rupiah yang menurun sejak terjadinya gejolak moneter bulan
Juli 1997 menjadi lebih buruk lagi setelah diterapkan sistim nilai tukar yang
mengambang secara bebas pada pertengahan Agustus 1997. Pembelian mata uang
dollar (USD) atau penjualan aset rupiah ramai dilakukan, dimulai oleh pelaku
pasar asing, akan tetapi kemudian diikuti oleh pemain pasar dalam negeri dan
pemilik dana dalam negeri. Strategi yang dilakukan pemerintah dalam menghadapi
perkembangan ini adalah dengan melakukan pengetatan moneter, dengan menggunakan
tindakan fiskal (melalui pengurangan pengeluaran rutin maupun pembangunan dari
APBN), kebijakan moneter (langkah BI menghentikan pembelian SBPU bank-bank dan
peningkatan suku bunga SBI sampai lebih dari dua kali lipat), dan tindakan
adminsitratif (instruksi Menkeu ke pada berbagai Yayasan dan BUMN untuk
mengalihkan deposito mereka menjadi SBI).
2. Pada
saat perekonomian sedang mengalami gejolak ekonomi (seperti fluktuasi nilai
tukar) yang menyebabkan para penabung menarik dananya dari bank yang sakit
maupun pada bank yang sehat, sehingga menimbulkan bank run. Untuk mengatasi masalah ini, biasanya pemerintah
melakukan penjaminan terhadap dana yang disimpan oleh para penabung, karena
penjaminan tersebut akan menyebabkan para penabung merasa aman dan mempercayai
sistem perbankan. Pemerintah juga dapat bertindak sebagai the lender of the last resort, dengan
memberikan bantuan likuiditas kepada bank yang mengalami masalah likuiditas.
3. Resiko
Likuiditas yang terjadi dalam pasar modal antara lain yakni ketika perusahaan
yang sahamnya dimiliki, dinyatakan bangkrut oleh lembaga yang berwenang seperti
pengadilan atau perusahaan tersebut dibubarkan. Dalam kasus seperti ini hak
klaim dari pemegang saham mendapatkan prioritas terakhir tentu setelah seluruh
kewajiban perusahaan dapat dilunasi dari hasil penjualan kekayaan perusahaan.
Jika masih ada sisanya, itulah yang akan dibaga kepada seluruh pemegang saham
secara proporsional.Inilah resiko dari orang yang berinvestasi di pasar modal.
Karenanya si investor diharuskan untuk selalu mengamati perkembangan
perusahaan-perusahaan yang si investor miliki sahamnya.
4. Kasus bank century dan dalam
perbankan syariah. Bank Century yang hingga saat ini belum
bisa mengembalikan dana nasabahnya.
5. dll